Toraja sepertinya tidak pernah kehabisan atraksi wisata. Sebelumnya kami pernah memperkenalkan objek wisata alam air terjun di Sarambu Bittuang dan Barereng, kecamatan Kurra, serta objek wisata perkampungan asli Toraja di Ke’te Kesu’ dan Silanan, di kecamatan Gandasil, kali ini kami mencoba mengajak anda untuk jalan-jalan, melihat, dan mempelajari kehidupan masyarakat Toraja masa lampau di museum Buntu Kalando
Museum Buntu Kalando, yang merupakan bekas istana Puang Sangalla, terletak di lembang (desa) Kaero, kecamatan Sangalla, kabupaten Tana Toraja. Jaraknya tidak jauh, hanya sekitar enam kilometer dari kota Makale, ibukota kabupaten Tana Toraja. Jika menggunakan kendaraan roda empat, anda hanya membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam untuk sampai di tempat itu.
Untuk sampai ke tempat ini, anda bisa melalui dua alternatif jalur jalan, yakni melalui pasar inpres Makale atau melalui Tete’ Bassi via Sangalla. Kondisi kedua jalur jalan ini cukup bagus, meski masih ada beberapa titik yang mengalami kerusakan. Tetapi itu tidak akan mengganggu kenyamanan perjalanan. Sepanjang jalan, anda bisa menikmati keindahan panorama alam, yang mungkin tidak anda dapatkan di tempat lain. Hamparan sawah yang luas serta bangunan-bangunan Tongkonan, khas Toraja, tersedia di sisi kiri maupun kanan jalan. Juga perbukitan dengan batu (atol) yang menjulang.
Jika anda melalui jalur pasar Makale via Turunan, anda bisa singgah dulu di beberapa objek wisata lain, seperti danau Assa’ di lembang Turunan dan kompleks pemakaman raja Sangalla di Suaya, lembang Kaero. Tetapi jika melalui jalur Tete’ Bassi terus ke Sangalla, objek wisata yang ditawarkan kepada anda, lebih banyak lagi, namun jalurnya lebih jauh. Anda bisa singgah di kompleks kuburan bayi yang dibuat di dalam sebatang pohon kayu hidup di Kambira. Atau anda bisa singgah sebentar untuk mandi-mandi dan menikmati istirahat di kolam air panas Makula.
Museum Buntu Kalando sendiri adalah sebuah kompleks permukiman, yang pada zama dahulu digunakan sebagai istana raja (Puang) Sangalla. Lokasinya cukup luas, terdiri dari satu bangunan Tongkonan induk, yang dibangun sejak tahun 1969 dan beberapa bangunan lumbung padi (alang) di depannya. Di sisi kiri dan kanan bangunan Tongkonan, juga ada bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal keturunan Puang Sangalla
Untuk sampai ke tempat ini, anda bisa melalui dua alternatif jalur jalan, yakni melalui pasar inpres Makale atau melalui Tete’ Bassi via Sangalla. Kondisi kedua jalur jalan ini cukup bagus, meski masih ada beberapa titik yang mengalami kerusakan. Tetapi itu tidak akan mengganggu kenyamanan perjalanan. Sepanjang jalan, anda bisa menikmati keindahan panorama alam, yang mungkin tidak anda dapatkan di tempat lain. Hamparan sawah yang luas serta bangunan-bangunan Tongkonan, khas Toraja, tersedia di sisi kiri maupun kanan jalan. Juga perbukitan dengan batu (atol) yang menjulang.
Jika anda melalui jalur pasar Makale via Turunan, anda bisa singgah dulu di beberapa objek wisata lain, seperti danau Assa’ di lembang Turunan dan kompleks pemakaman raja Sangalla di Suaya, lembang Kaero. Tetapi jika melalui jalur Tete’ Bassi terus ke Sangalla, objek wisata yang ditawarkan kepada anda, lebih banyak lagi, namun jalurnya lebih jauh. Anda bisa singgah di kompleks kuburan bayi yang dibuat di dalam sebatang pohon kayu hidup di Kambira. Atau anda bisa singgah sebentar untuk mandi-mandi dan menikmati istirahat di kolam air panas Makula.
Museum Buntu Kalando sendiri adalah sebuah kompleks permukiman, yang pada zama dahulu digunakan sebagai istana raja (Puang) Sangalla. Lokasinya cukup luas, terdiri dari satu bangunan Tongkonan induk, yang dibangun sejak tahun 1969 dan beberapa bangunan lumbung padi (alang) di depannya. Di sisi kiri dan kanan bangunan Tongkonan, juga ada bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal keturunan Puang Sangalla
.
Bicara soal koleksi, museum ini cukup lengkap. Gaya bangunannya berbentuk klasik tradisional. Koleksi dalam museum ini seolah menunjukkan kebesaran dan keagungan kerajaan Sangalla di masa lampau. Ada beragam koleksi yang ada di museum ini, yang menurut Puang Edi Sombolinggi, memiliki usia yang bervariasi, antara puluhan hingga ratusan tahun. Secara teknis museum Buntu Kalando menampung koleksi enografika keramik, numismatic, arkeologika, dan historika.
Beberapa koleksi museum Buntu Kalando, diantaranya kapak neolithik yang terbuat dari batuan chert berwarna hijau keabu-abuan. Pada permukaan kapak nampak bekas olahan manusia dan bekas pemakaian manusia. Juga manic-manik pra sejarah yang sudah tidak utuh. Ada juga gading gajah, yang dalam bahasa Toraja disebut Balusu (ponto). Dalam masyarakat prasejarah, keberadaan gading ini berkaitan erat dengan strata sosial seseorang. Selain itu, ada juga gelang perak (ponto gallang), lesung batu yang sudah berusia ratusan tahun, koleksi tau-tau (ethnografika) sebanyak enam buah, belasan mata uang logam dan uang kertas asing (numismatika) yang diperkirakan pernah dipakai sebagai alat pertukaran di masa lalu.
Selain itu, ada juga beberapa koleksi keramik, yang berasal dari Cina, Jepang, Thailand, dan beberapa negara Eropa. Ada juga koleksi tempat makan sirih (pakinangan), yang konon biasa dipakai oleh Puang Sangalla di masa lampau. Koleksi lainnya adalah peti barang (baka bua) yang terbuat dari anyaman rotan dan kayu, berbentuk bulat. Beberapa koleksi alat rumah tangga seperti tempat makan (kandean lentek), karu kayu, pambuliang (tempat tuak), kolobe uwai (tempat air), kandean langko (piring kayu), tambirang, passarang, kandean langko (baki), dan beberapa koleksi lainnya.
Juga terdapat peralatan tenun tradisional, kain tradisional, tombak (doke), pakaian adat suku Toraja (kandaure, kalong baju, ambero, paku-paku, ponto kalue, ponto pirri, dan songko). Yang paling menarik dari museum ini adalah koleksi pakaian dan peralatan perang. Pada masyarakat Toraja, pakaian dan peralatan perang merupakan satu kesatuan yang biasa disebut To Parari, yang terdiri dari songko tanduk, manic tora, balulang (perisai), bandangan, bayu to’barani, tekinan, doke puan, doke bian, la’bo panei, dan sepu takinan. Juga ada pelaminan perkawinan, serta beberapa alat penangkap ikan.
Menurut pantauan saya, kondisi koleksi-koleksi museum Buntu Kalando, cukup terawat dengan baik oleh pemiliknya. Hanya saja, dalam jangka panjang, kondisi ini perlu ditingkatkan dan diperhatikan, terutama oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Sebab, jika tidak, koleksi yang kaya nilai histori maupun seni ini, bisa rusak dan hanya meninggalkan kenangan.
“Waktu masih ramai turis dulu, museum ini mendapat perhatian yang cukup baik dari pemerintah, tetapi beberapa tahun belakangan ini sudah tidak ada lagi,” jelas Puang Edi Sombolinggi, salah satu keturunan Puang Sangalla yang diberi kepercayaan mengurus museum.
koleksi yang ada di museum Buntu Kalando, boleh dikata cukup lengkap untuk menggambarkan kehidupan masyarakat maupun kalangan menengah Toraja di masa lampau. “Tinggal bagaimana sekarang kita memikirkan merawat dan mempertahankan koleksi-koleksi ini. Kalau rusak atau lapuk, kita semua yang akan rugi,”
Bicara soal koleksi, museum ini cukup lengkap. Gaya bangunannya berbentuk klasik tradisional. Koleksi dalam museum ini seolah menunjukkan kebesaran dan keagungan kerajaan Sangalla di masa lampau. Ada beragam koleksi yang ada di museum ini, yang menurut Puang Edi Sombolinggi, memiliki usia yang bervariasi, antara puluhan hingga ratusan tahun. Secara teknis museum Buntu Kalando menampung koleksi enografika keramik, numismatic, arkeologika, dan historika.
Beberapa koleksi museum Buntu Kalando, diantaranya kapak neolithik yang terbuat dari batuan chert berwarna hijau keabu-abuan. Pada permukaan kapak nampak bekas olahan manusia dan bekas pemakaian manusia. Juga manic-manik pra sejarah yang sudah tidak utuh. Ada juga gading gajah, yang dalam bahasa Toraja disebut Balusu (ponto). Dalam masyarakat prasejarah, keberadaan gading ini berkaitan erat dengan strata sosial seseorang. Selain itu, ada juga gelang perak (ponto gallang), lesung batu yang sudah berusia ratusan tahun, koleksi tau-tau (ethnografika) sebanyak enam buah, belasan mata uang logam dan uang kertas asing (numismatika) yang diperkirakan pernah dipakai sebagai alat pertukaran di masa lalu.
Selain itu, ada juga beberapa koleksi keramik, yang berasal dari Cina, Jepang, Thailand, dan beberapa negara Eropa. Ada juga koleksi tempat makan sirih (pakinangan), yang konon biasa dipakai oleh Puang Sangalla di masa lampau. Koleksi lainnya adalah peti barang (baka bua) yang terbuat dari anyaman rotan dan kayu, berbentuk bulat. Beberapa koleksi alat rumah tangga seperti tempat makan (kandean lentek), karu kayu, pambuliang (tempat tuak), kolobe uwai (tempat air), kandean langko (piring kayu), tambirang, passarang, kandean langko (baki), dan beberapa koleksi lainnya.
Juga terdapat peralatan tenun tradisional, kain tradisional, tombak (doke), pakaian adat suku Toraja (kandaure, kalong baju, ambero, paku-paku, ponto kalue, ponto pirri, dan songko). Yang paling menarik dari museum ini adalah koleksi pakaian dan peralatan perang. Pada masyarakat Toraja, pakaian dan peralatan perang merupakan satu kesatuan yang biasa disebut To Parari, yang terdiri dari songko tanduk, manic tora, balulang (perisai), bandangan, bayu to’barani, tekinan, doke puan, doke bian, la’bo panei, dan sepu takinan. Juga ada pelaminan perkawinan, serta beberapa alat penangkap ikan.
Menurut pantauan saya, kondisi koleksi-koleksi museum Buntu Kalando, cukup terawat dengan baik oleh pemiliknya. Hanya saja, dalam jangka panjang, kondisi ini perlu ditingkatkan dan diperhatikan, terutama oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Sebab, jika tidak, koleksi yang kaya nilai histori maupun seni ini, bisa rusak dan hanya meninggalkan kenangan.
“Waktu masih ramai turis dulu, museum ini mendapat perhatian yang cukup baik dari pemerintah, tetapi beberapa tahun belakangan ini sudah tidak ada lagi,” jelas Puang Edi Sombolinggi, salah satu keturunan Puang Sangalla yang diberi kepercayaan mengurus museum.
koleksi yang ada di museum Buntu Kalando, boleh dikata cukup lengkap untuk menggambarkan kehidupan masyarakat maupun kalangan menengah Toraja di masa lampau. “Tinggal bagaimana sekarang kita memikirkan merawat dan mempertahankan koleksi-koleksi ini. Kalau rusak atau lapuk, kita semua yang akan rugi,”