Senin, 18 Maret 2013

Tedong Bonga (Kerbau Belang)


Kerbau adalah hewan bernilai paling tinggi dalam budaya Toraja, salah satu etnis di Pulau Sulawesi. Kerbau yang dalam bahasa setempat disebut tedongatau karembau, memainkan peran sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat Toraja dan etnis lain yang tinggal di daerah sekitar Toraja. Selain menjadi hewan pekerja (membantu membajak sawah dan mengangkut barang), alat transaksi (misalnya dalam jual beli tanah, mahar, warisan), kerbau juga dipakai sebagai persembahan dalam upacara rambu solo’ dan rambu tuka’ masyarakat Toraja. Rambu tuka’ adalah upacara yang berkaitan dengan kehidupan seperti kelahiran, perkawinan, pesta panen, dan pesta sukacita. Ritus ini dilakukan saat matahari terbit hingga tengah hari dan berorientasi ke arah timur. Karena itu,rambu tuka’ dilaksanakan di sebelah timur tongkonan (rumah adat Toraja). Rambu solo’ merupakan upacara yang terkait dengan kematian. Ritus ini biasa dilaksanakan sore hari. Upacara yang umumnya berupa prosesi penguburan ini dilaksanakan di sebelah barat tongkonan.
Kerbau Belang Jantan Sebagai Persembahan Upacara
Tidak semua kerbau bisa dipakai dalam upacara. Hanya kerbau belang jantan yang bernilai tinggi dan bisa dikorbankan sebagai persembahan dalam upacara adat pemakaman masyarakat Toraja. Kerbau belang ini merupakan spesies endemik yang hanya terdapat di Toraja. Disebut kerbau belang karena kulitnya berwarna kombinasi merah muda/albino dan hitam/kelabu. Oleh masyarakat Toraja, kerbau ini dipercaya sebagai kendaraan arwah menuju puya (surga). Karena itu, semakin bagus kerbau belang dan semakin banyak jumlah yang dipotong, akan semakin baik dan aman kehidupan orang yang meninggal di akhirat. Sementara kerbau yang banyak digunakan untuk hewan pekerja adalah kerbau biasa yang berkulit kelabu atau kecoklatan. Harga kerbau semacam ini murah. Sebagai perbandingan, seekor kerbau belang jantan setara nilainya dengan 10-20 ekor kerbau biasa.
Karena bernilai tinggi, kerbau belang jantan umumnya dirawat secara khusus, seperti sering dimandikan dan diberi makanan rumput kualitas terbaik. Kerbau belang betina pun perawatannya juga diperhatikan walau tidak seistimewa kerbau belang jantan karena berguna sebagai indukan. Ternak ini biasanya diistirahatkan dalam kandang di kolong tongkonan, rumah adat Toraja yang berbentuk rumah panggung. Masyarakat juga menyiapkan lokasi penggembalaan khusus untuk si kerbau belang yang disebut bala. Sebuah bala umumnya dipagari dengan tanaman bambu atau tanaman pagar lain guna mengamankan si kerbau belang. Di dekat bala, masyarakat biasanya membuka kebun untuk bercocok tanam. Kotoran kerbau yang ada di bala dimanfaatkan sebagai pupuk penyubur tanaman. Masyarakat juga ada yang mengonsumsi susu kerbau sebagai minuman yang meningkatkan asupan nutrisi keluarga. Seekor kerbau bisa menghasilkan tiga liter susu per hari. Ini menunjukkan bahwa usaha ternak kerbau belang selain menguntungkan karena bernilai jual tinggi, juga memberikan keuntungan lain bagi keluarga peternak, yaitu peningkatan gizi dan penyediaan pupuk untuk kebunnya.
Kerbau Belang Kian Langka
Tingginya nilai kerbau belang, khususnya yang jantan, terjadi akibat kelangkaan kerbau jenis ini. Meski seorang petani memiliki kerbau belang betina, tidak bisa dipastikan bahwa anak kerbau yang dilahirkannya akan belang juga. Selain itu, kerbau relatif sulit dibiakkan karena masa berahi betinanya sulit diketahui. Berbeda dengan sapi yang mudah diprediksi masa berahinya dengan memeriksa kondisi vulva (alat kelamin luar) sapi betina. Jika vulva menunjukkan tanda 3A (abangabuh, dan anget = merah, bengkak, dan hangat) itu berarti sapi betina sedang memasuki masa berahi. Proses pembiakan di Tana Toraja makin sulit karena kerbau belang jantan cenderung dijaga dan diisolasi, tidak dicampur dengan kerbau betina, karena berharga mahal. Harga kerbau belang jantan kualitas terbaik bisa mencapai Rp 450 juta.
Kesulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah asli itu terancam kelestariannya. Saat ini di Tana Toraja kerbau belang jantan yang tersisa hanya sekitar 300 ekor. Karena itu banyak kerbau belang jantan didatangkan dari daerah sekitar Toraja, khususnya Mamasa, yang memiliki populasi kerbau belang lebih banyak. Kerbau-kerbau belang ini biasanya diperdagangkan di pasar ternak Bolu di Kecamatan Rantepao, Toraja.
Add caption
Ramuan Tradisional Lebih Dipercaya
Selain kesulitan pembiakan, kerbau belang ini memiliki penyakit khas yang disebut ”berak susu”. Penyakit ini menyerang anak kerbau yang baru berusia satu bulan. Gejalanya adalah anak sapi terlihat lemas, tidak aktif bergerak, dan tidak mau menyusu pada induknya. Penyakit ini disebabkan oleh cacing dan serangan biasanya berlangsung selama tiga hari. Jika anak kerbau yang terserang tidak segera diberi obat pada hari pertama serangan, maka kemungkinan sembuhnya kecil dan bisa mengakibatkan kematian pada hari ketiga. Karena itu penyakit ini sedapat mungkin harus diatasi untuk menjaga populasi kerbau belang.
Sampai saat ini para peternak di Toraja dan Mamasa selalu menggunakan ramuan tradisional untuk mengobati penyakit berak susu. Resepnya diajarkan secara turun temurun oleh orang-orang tua dan memanfaatkan beragam tanaman di sekitar rumah dan kebun. Mereka sangat meyakini kemanjuran ramuan tradisional ini dan tidak pernah mencoba menggunakan pengobatan secara kimia dari dokter hewan.
Ramuan yang digunakan oleh peternak Toraja adalah campuran kulit pohon sipate (Alstonia scolaris Murb.), kulit pohon kecapi (Sandoricum koetjape), dan kulit pohon langsat (Lansium domesticum). Semua bahan ini ditumbuk sampai halus lalu dicampur dengan air. Larutan ini kemudian dimasukkan ke dalam tabung bambu dan dibakar di atas api hingga mendidih. Setelah itu didiamkan sampai dingin dan langsung diminumkan/dituangkan ke mulut anak kerbau yang sakit.
Sementara itu, untuk menyembuhkan penyakit berak susu, peternak di Mamasa biasa memanfaatkan buah nanas muda. Buah nanas ini diparut, diambil airnya, dan dicampur dengan remukan gula merah. Campuran ini dituangkan ke dalam buluh bambu muda/gelagah dan diminumkan selama tiga hari berturut-turut ke anak kerbau belang yang sakit.
Jika buah nanas sedang sulit diperoleh maka mereka menggunakan akar tanaman “kasimpo”. Kasimpo ini adalah tanaman sejenis lengkuas hutan. Akar kasimpo ini dicuci bersih, ditumbuk, dan diperas. Air perasan dimasukkan ke dalam buluh bambu muda/gelagah dan diminumkan ke anak kerbau yang sakit selama tiga hari berturut-turut. Dengan cara-cara pengobatan tradisional ini, biasanya selepas tiga hari kesehatan anak kerbau sudah pulih dan sudah mau menyusu lagi.
Selain penyakit berak susu, penyakit lain yang biasa menyerang kerbau belang adalah penyakit kulit yang disebut kudis oleh para peternak. Kerbau yang terserang penyakit ini harga jualnya bisa jatuh karena kulitnya tidak terlihat mulus. Untuk mengobatinya peternak di Mamasa biasa menggunakan rumput “maru dinding” dan tumbukan atau hasil kikiran kulit kerang yang dicampur dengan air dan direndam dalam wadah tembaga. Campuran ini diborehkan pada kulit kerbau yang sakit, setiap hari, sampai penyakit kudisnya sembuh.
Pakan Alami
Selain cara pengobatan yang memanfaatkan bahan-bahan alami, makanan kerbau belang pun tidak dicampur dengan pakan buatan. Kerbau belang ini hanya diberi makan rumput segar. Menurut para peternak di Toraja dan Mamasa, jika kerbau belang diberi pakan buatan seperti pakan berbentuk konsentrat pertumbuhannya malah tidak begitu baik.
Cara perawatan kerbau belang yang dilakukan oleh para peternak di Toraja dan Mamasa ini adalah contoh praktik peternakan dengan input luar rendah. Dengan memilih menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitarnya, peternak menjadi mandiri dan lepas dari ketergantungan terhadap pihak luar dalam menjalankan usaha peternakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar