Rabu, 20 Maret 2013

Museum Buntu Kalando, Koleksi Lengkap Toraja Masa Lampau

Toraja sepertinya tidak pernah kehabisan atraksi wisata. Sebelumnya kami pernah memperkenalkan objek wisata alam air terjun di Sarambu Bittuang dan Barereng, kecamatan Kurra, serta objek wisata perkampungan asli Toraja di Ke’te Kesu’ dan Silanan, di kecamatan Gandasil, kali ini kami mencoba mengajak anda untuk jalan-jalan, melihat, dan mempelajari kehidupan masyarakat Toraja masa lampau di museum Buntu Kalando.
 Toraja sepertinya tidak pernah kehabisan atraksi wisata. Sebelumnya kami pernah memperkenalkan objek wisata alam air terjun di Sarambu Bittuang dan Barereng, kecamatan Kurra, serta objek wisata perkampungan asli Toraja di Ke’te Kesu’ dan Silanan, di kecamatan Gandasil, kali ini kami mencoba mengajak anda untuk jalan-jalan, melihat, dan mempelajari kehidupan masyarakat Toraja masa lampau di museum Buntu Kalando
 toraja traditional music instrument, keso'keso', a collection of Buntu Kalando Museum, Tana Toraja.
 Ancient toraja clothes, made from fibre of the pineapple's leavesMuseum Buntu Kalando, yang merupakan bekas istana Puang Sangalla, terletak di lembang (desa) Kaero, kecamatan Sangalla, kabupaten Tana Toraja. Jaraknya tidak jauh, hanya sekitar enam kilometer dari kota Makale, ibukota kabupaten Tana Toraja. Jika menggunakan kendaraan roda empat, anda hanya membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam untuk sampai di tempat itu.

Untuk sampai ke tempat ini, anda bisa melalui dua alternatif jalur jalan, yakni melalui pasar inpres Makale atau melalui Tete’ Bassi via Sangalla. Kondisi kedua jalur jalan ini cukup bagus, meski masih ada beberapa titik yang mengalami kerusakan. Tetapi itu tidak akan mengganggu kenyamanan perjalanan. Sepanjang jalan, anda bisa menikmati keindahan panorama alam, yang mungkin tidak anda dapatkan di tempat lain. Hamparan sawah yang luas serta bangunan-bangunan Tongkonan, khas Toraja, tersedia di sisi kiri maupun kanan jalan. Juga perbukitan dengan batu (atol) yang menjulang.

Jika anda melalui jalur pasar Makale via Turunan, anda bisa singgah dulu di beberapa objek wisata lain, seperti danau Assa’ di lembang Turunan dan kompleks pemakaman raja Sangalla di Suaya, lembang Kaero. Tetapi jika melalui jalur Tete’ Bassi terus ke Sangalla, objek wisata yang ditawarkan kepada anda, lebih banyak lagi, namun jalurnya lebih jauh. Anda bisa singgah di kompleks kuburan bayi yang dibuat di dalam sebatang pohon kayu hidup di Kambira. Atau anda bisa singgah sebentar untuk mandi-mandi dan menikmati istirahat di kolam air panas Makula.

Museum Buntu Kalando sendiri adalah sebuah kompleks permukiman, yang pada zama dahulu digunakan sebagai istana raja (Puang) Sangalla. Lokasinya cukup luas, terdiri dari satu bangunan Tongkonan induk, yang dibangun sejak tahun 1969 dan beberapa bangunan lumbung padi (alang) di depannya. Di sisi kiri dan kanan bangunan Tongkonan, juga ada bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal keturunan Puang Sangalla
. Ancient toraja clothes, made from fibre of the pineapple's leaves

Bicara soal koleksi, museum ini cukup lengkap. Gaya bangunannya berbentuk klasik tradisional. Koleksi dalam museum ini seolah menunjukkan kebesaran dan keagungan kerajaan Sangalla di masa lampau. Ada beragam koleksi yang ada di museum ini, yang menurut Puang Edi Sombolinggi, memiliki usia yang bervariasi, antara puluhan hingga ratusan tahun. Secara teknis museum Buntu Kalando menampung koleksi enografika keramik, numismatic, arkeologika, dan historika. Tongkonan, the Toraja traditional house as the main museum building

Beberapa koleksi museum Buntu Kalando, diantaranya kapak neolithik yang terbuat dari batuan chert berwarna hijau keabu-abuan. Pada permukaan kapak nampak bekas olahan manusia dan bekas pemakaian manusia. Juga manic-manik pra sejarah yang sudah tidak utuh. Ada juga gading gajah, yang dalam bahasa Toraja disebut Balusu (ponto). Dalam masyarakat prasejarah, keberadaan gading ini berkaitan erat dengan strata sosial seseorang. Selain itu, ada juga gelang perak (ponto gallang), lesung batu yang sudah berusia ratusan tahun, koleksi tau-tau (ethnografika) sebanyak enam buah, belasan mata uang logam dan uang kertas asing (numismatika) yang diperkirakan pernah dipakai sebagai alat pertukaran di masa lalu.
 toraja household utensils- collection of the Buntu Kalando Museum, Sangalla - Tana Toraja
Selain itu, ada juga beberapa koleksi keramik, yang berasal dari Cina, Jepang, Thailand, dan beberapa negara Eropa. Ada juga koleksi tempat makan sirih (pakinangan), yang konon biasa dipakai oleh Puang Sangalla di masa lampau. Koleksi lainnya adalah peti barang (baka bua) yang terbuat dari anyaman rotan dan kayu, berbentuk bulat. Beberapa koleksi alat rumah tangga seperti tempat makan (kandean lentek), karu kayu, pambuliang (tempat tuak), kolobe uwai (tempat air), kandean langko (piring kayu), tambirang, passarang, kandean langko (baki), dan beberapa koleksi lainnya.
 the toraja legendary bracelet ponto lola, Ponto Lola'
Juga terdapat peralatan tenun tradisional, kain tradisional, tombak (doke), pakaian adat suku Toraja (kandaure, kalong baju, ambero, paku-paku, ponto kalue, ponto pirri, dan songko). Yang paling menarik dari museum ini adalah koleksi pakaian dan peralatan perang. Pada masyarakat Toraja, pakaian dan peralatan perang merupakan satu kesatuan yang biasa disebut To Parari, yang terdiri dari songko tanduk, manic tora, balulang (perisai), bandangan, bayu to’barani, tekinan, doke puan, doke bian, la’bo panei, dan sepu takinan. Juga ada pelaminan perkawinan, serta beberapa alat penangkap ikan.

Menurut pantauan saya, kondisi koleksi-koleksi museum Buntu Kalando, cukup terawat dengan baik oleh pemiliknya. Hanya saja, dalam jangka panjang, kondisi ini perlu ditingkatkan dan diperhatikan, terutama oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Sebab, jika tidak, koleksi yang kaya nilai histori maupun seni ini, bisa rusak dan hanya meninggalkan kenangan.

“Waktu masih ramai turis dulu, museum ini mendapat perhatian yang cukup baik dari pemerintah, tetapi beberapa tahun belakangan ini sudah tidak ada lagi,” jelas Puang Edi Sombolinggi, salah satu keturunan Puang Sangalla yang diberi kepercayaan mengurus museum.
 koleksi yang ada di museum Buntu Kalando, boleh dikata cukup lengkap untuk menggambarkan kehidupan masyarakat maupun kalangan menengah Toraja di masa lampau. “Tinggal bagaimana sekarang kita memikirkan merawat dan mempertahankan koleksi-koleksi ini. Kalau rusak atau lapuk, kita semua yang akan rugi,” 

Adu Kerbau (Ma' Pasilaga Tedong)



Adu kerbau atau di daerah Toraja dikenal dengan nama "silaga tedong" merupakan acara adat di kabupaten Tana Toraja yang diadakan pada acara kematian. acara ini di langsungkan untuk memberikan penghiburan kepada keluarga duka yang bersangkutan. Sebelum acara pemakaman dilakukan, telah dilakukan persiapan yang penuh dengan acara seremoni. Mulai dari passilaga tedong secara massal, hingga prosesi pemotongan hewan yang juga dilakukan secara massal.Adu kerbau diawali dengan kerbau bule. 
 







Partai adu kerbau diselingi dengan prosesi pemotongan kerbau ala Toraja, Ma’tinggoro tedong, yaitu menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas. Semakin sore, pesta adu kerbau semakin ramai karena yang diadu adalah kerbau jantan yang sudah memiliki pengalaman berkelahi puluhan kali.Sebelum diadu, dilakukan parade kerbau. Ada kerbau bule atau albino, ada pula yang memiliki bercak-bercak hitam di punggung yang disebut saleko dan hitam di punggung (lontong boko'). Jenis yang terakhir ini harganya paling mahal, bisa di atas Rp 100 juta. Juga terdapat kerbau jantan yang sudah dikebiri—konon cita rasa dagingnya lebih gurih Setelah acara passilaga tedong usai akan di lanjutkan dengan upacara adat yang disebut dengan "Pattinggoro Tedong". Pattinggoro Tedong adalah dimana kerbau-kerbau aduan tadi di sembelih dan orang Toraja agar dapat mengantarkan roh almarhum ke Dunia Arwah (orang suku Toraja menyebutnya "puyo").

 

Kerbau adalah hewan bernilai paling tinggi dalam budaya Toraja, salah satu etnis di Pulau Sulawesi. Kerbau yang dalam bahasa setempat disebut tedongatau karembau, memainkan peran sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat Toraja dan etnis lain yang tinggal di daerah sekitar Toraja. Selain menjadi hewan pekerja (membantu membajak sawah dan mengangkut barang), alat transaksi (misalnya dalam jual beli tanah, mahar, warisan), kerbau juga dipakai sebagai persembahan dalam upacara rambu solo dan rambu tuka masyarakat Toraja. Rambu tuka adalah upacara yang berkaitan dengan kehidupan seperti kelahiran, perkawinan, pesta panen, dan pesta sukacita. Ritus ini dilakukan saat matahari terbit hingga tengah hari dan berorientasi ke arah timur. Karena itu,rambu tuka dilaksanakan di sebelah timur tongkonan (rumah adat Toraja). Rambu solo merupakan upacara yang terkait dengan kematian. Ritus ini biasa dilaksanakan sore hari. Upacara yang umumnya berupa prosesi penguburan ini dilaksanakan di sebelah barat tongkonan.
Kerbau Belang Jantan Sebagai Persembahan Upacar  
a
Tidak semua kerbau bisa dipakai dalam upacara. Hanya kerbau belang jantan yang bernilai tinggi dan bisa dikorbankan sebagai persembahan dalam upacara adat pemakaman masyarakat Toraja. Kerbau belang ini merupakan spesies endemik yang hanya terdapat di Toraja. Disebut kerbau belang karena kulitnya berwarna kombinasi merah muda/albino dan hitam/kelabu. Oleh masyarakat Toraja, kerbau ini dipercaya sebagai kendaraan arwah menuju puya (surga). Karena itu, semakin bagus kerbau belang dan semakin banyak jumlah yang dipotong, akan semakin baik dan aman kehidupan orang yang meninggal di akhirat. 

Senin, 18 Maret 2013

Tedong Bonga (Kerbau Belang)


Kerbau adalah hewan bernilai paling tinggi dalam budaya Toraja, salah satu etnis di Pulau Sulawesi. Kerbau yang dalam bahasa setempat disebut tedongatau karembau, memainkan peran sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat Toraja dan etnis lain yang tinggal di daerah sekitar Toraja. Selain menjadi hewan pekerja (membantu membajak sawah dan mengangkut barang), alat transaksi (misalnya dalam jual beli tanah, mahar, warisan), kerbau juga dipakai sebagai persembahan dalam upacara rambu solo’ dan rambu tuka’ masyarakat Toraja. Rambu tuka’ adalah upacara yang berkaitan dengan kehidupan seperti kelahiran, perkawinan, pesta panen, dan pesta sukacita. Ritus ini dilakukan saat matahari terbit hingga tengah hari dan berorientasi ke arah timur. Karena itu,rambu tuka’ dilaksanakan di sebelah timur tongkonan (rumah adat Toraja). Rambu solo’ merupakan upacara yang terkait dengan kematian. Ritus ini biasa dilaksanakan sore hari. Upacara yang umumnya berupa prosesi penguburan ini dilaksanakan di sebelah barat tongkonan.
Kerbau Belang Jantan Sebagai Persembahan Upacara
Tidak semua kerbau bisa dipakai dalam upacara. Hanya kerbau belang jantan yang bernilai tinggi dan bisa dikorbankan sebagai persembahan dalam upacara adat pemakaman masyarakat Toraja. Kerbau belang ini merupakan spesies endemik yang hanya terdapat di Toraja. Disebut kerbau belang karena kulitnya berwarna kombinasi merah muda/albino dan hitam/kelabu. Oleh masyarakat Toraja, kerbau ini dipercaya sebagai kendaraan arwah menuju puya (surga). Karena itu, semakin bagus kerbau belang dan semakin banyak jumlah yang dipotong, akan semakin baik dan aman kehidupan orang yang meninggal di akhirat. Sementara kerbau yang banyak digunakan untuk hewan pekerja adalah kerbau biasa yang berkulit kelabu atau kecoklatan. Harga kerbau semacam ini murah. Sebagai perbandingan, seekor kerbau belang jantan setara nilainya dengan 10-20 ekor kerbau biasa.
Karena bernilai tinggi, kerbau belang jantan umumnya dirawat secara khusus, seperti sering dimandikan dan diberi makanan rumput kualitas terbaik. Kerbau belang betina pun perawatannya juga diperhatikan walau tidak seistimewa kerbau belang jantan karena berguna sebagai indukan. Ternak ini biasanya diistirahatkan dalam kandang di kolong tongkonan, rumah adat Toraja yang berbentuk rumah panggung. Masyarakat juga menyiapkan lokasi penggembalaan khusus untuk si kerbau belang yang disebut bala. Sebuah bala umumnya dipagari dengan tanaman bambu atau tanaman pagar lain guna mengamankan si kerbau belang. Di dekat bala, masyarakat biasanya membuka kebun untuk bercocok tanam. Kotoran kerbau yang ada di bala dimanfaatkan sebagai pupuk penyubur tanaman. Masyarakat juga ada yang mengonsumsi susu kerbau sebagai minuman yang meningkatkan asupan nutrisi keluarga. Seekor kerbau bisa menghasilkan tiga liter susu per hari. Ini menunjukkan bahwa usaha ternak kerbau belang selain menguntungkan karena bernilai jual tinggi, juga memberikan keuntungan lain bagi keluarga peternak, yaitu peningkatan gizi dan penyediaan pupuk untuk kebunnya.
Kerbau Belang Kian Langka
Tingginya nilai kerbau belang, khususnya yang jantan, terjadi akibat kelangkaan kerbau jenis ini. Meski seorang petani memiliki kerbau belang betina, tidak bisa dipastikan bahwa anak kerbau yang dilahirkannya akan belang juga. Selain itu, kerbau relatif sulit dibiakkan karena masa berahi betinanya sulit diketahui. Berbeda dengan sapi yang mudah diprediksi masa berahinya dengan memeriksa kondisi vulva (alat kelamin luar) sapi betina. Jika vulva menunjukkan tanda 3A (abangabuh, dan anget = merah, bengkak, dan hangat) itu berarti sapi betina sedang memasuki masa berahi. Proses pembiakan di Tana Toraja makin sulit karena kerbau belang jantan cenderung dijaga dan diisolasi, tidak dicampur dengan kerbau betina, karena berharga mahal. Harga kerbau belang jantan kualitas terbaik bisa mencapai Rp 450 juta.
Kesulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah asli itu terancam kelestariannya. Saat ini di Tana Toraja kerbau belang jantan yang tersisa hanya sekitar 300 ekor. Karena itu banyak kerbau belang jantan didatangkan dari daerah sekitar Toraja, khususnya Mamasa, yang memiliki populasi kerbau belang lebih banyak. Kerbau-kerbau belang ini biasanya diperdagangkan di pasar ternak Bolu di Kecamatan Rantepao, Toraja.
Add caption
Ramuan Tradisional Lebih Dipercaya
Selain kesulitan pembiakan, kerbau belang ini memiliki penyakit khas yang disebut ”berak susu”. Penyakit ini menyerang anak kerbau yang baru berusia satu bulan. Gejalanya adalah anak sapi terlihat lemas, tidak aktif bergerak, dan tidak mau menyusu pada induknya. Penyakit ini disebabkan oleh cacing dan serangan biasanya berlangsung selama tiga hari. Jika anak kerbau yang terserang tidak segera diberi obat pada hari pertama serangan, maka kemungkinan sembuhnya kecil dan bisa mengakibatkan kematian pada hari ketiga. Karena itu penyakit ini sedapat mungkin harus diatasi untuk menjaga populasi kerbau belang.
Sampai saat ini para peternak di Toraja dan Mamasa selalu menggunakan ramuan tradisional untuk mengobati penyakit berak susu. Resepnya diajarkan secara turun temurun oleh orang-orang tua dan memanfaatkan beragam tanaman di sekitar rumah dan kebun. Mereka sangat meyakini kemanjuran ramuan tradisional ini dan tidak pernah mencoba menggunakan pengobatan secara kimia dari dokter hewan.
Ramuan yang digunakan oleh peternak Toraja adalah campuran kulit pohon sipate (Alstonia scolaris Murb.), kulit pohon kecapi (Sandoricum koetjape), dan kulit pohon langsat (Lansium domesticum). Semua bahan ini ditumbuk sampai halus lalu dicampur dengan air. Larutan ini kemudian dimasukkan ke dalam tabung bambu dan dibakar di atas api hingga mendidih. Setelah itu didiamkan sampai dingin dan langsung diminumkan/dituangkan ke mulut anak kerbau yang sakit.
Sementara itu, untuk menyembuhkan penyakit berak susu, peternak di Mamasa biasa memanfaatkan buah nanas muda. Buah nanas ini diparut, diambil airnya, dan dicampur dengan remukan gula merah. Campuran ini dituangkan ke dalam buluh bambu muda/gelagah dan diminumkan selama tiga hari berturut-turut ke anak kerbau belang yang sakit.
Jika buah nanas sedang sulit diperoleh maka mereka menggunakan akar tanaman “kasimpo”. Kasimpo ini adalah tanaman sejenis lengkuas hutan. Akar kasimpo ini dicuci bersih, ditumbuk, dan diperas. Air perasan dimasukkan ke dalam buluh bambu muda/gelagah dan diminumkan ke anak kerbau yang sakit selama tiga hari berturut-turut. Dengan cara-cara pengobatan tradisional ini, biasanya selepas tiga hari kesehatan anak kerbau sudah pulih dan sudah mau menyusu lagi.
Selain penyakit berak susu, penyakit lain yang biasa menyerang kerbau belang adalah penyakit kulit yang disebut kudis oleh para peternak. Kerbau yang terserang penyakit ini harga jualnya bisa jatuh karena kulitnya tidak terlihat mulus. Untuk mengobatinya peternak di Mamasa biasa menggunakan rumput “maru dinding” dan tumbukan atau hasil kikiran kulit kerang yang dicampur dengan air dan direndam dalam wadah tembaga. Campuran ini diborehkan pada kulit kerbau yang sakit, setiap hari, sampai penyakit kudisnya sembuh.
Pakan Alami
Selain cara pengobatan yang memanfaatkan bahan-bahan alami, makanan kerbau belang pun tidak dicampur dengan pakan buatan. Kerbau belang ini hanya diberi makan rumput segar. Menurut para peternak di Toraja dan Mamasa, jika kerbau belang diberi pakan buatan seperti pakan berbentuk konsentrat pertumbuhannya malah tidak begitu baik.
Cara perawatan kerbau belang yang dilakukan oleh para peternak di Toraja dan Mamasa ini adalah contoh praktik peternakan dengan input luar rendah. Dengan memilih menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitarnya, peternak menjadi mandiri dan lepas dari ketergantungan terhadap pihak luar dalam menjalankan usaha peternakannya.

Upaca Kematian Yang Bernilai Milyaran Rupiah dan Termahal Di Dunia


Ketidakpastian akan misteri kehidupan setelah mati, menciptakan kekhawatiran akan nasib si mati di alam baka. Di dataran tinggi Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan, upaya untuk menguak misteri itu telah menciptakan sebuah prosesi religius yang begitu rumit, kompleks, dan memakan banyak tenaga serta biaya. Masyarakat Toraja menyebutnya dengan Upacara Rambu Solok.Ritual itu dikenal sebagai upacara pengantar jenazah seseorang ke penguburan.
Meski hanya sebuah ritual kematian, penyelenggaraan upacara itu layaknya sebuah pesta besar. Sebab, puluhan ekor kerbau dan babi mesti dikorbankan dengan melibatkan massa secara kolosal dan membutuhkan dana puluhan hingga ratusan juta bahkan milyaran rupiah. 


Add caption
Jika mengikuti tata cara Aluk To Dolo, upacara Rambu Solok sebenarnya adalah upacara yang rumit dan kompleks. Namun, sejak masuknya agama Kristen, Katolik, dan Islam, beberapa bagian prosesi telah dihilangkan. Kini, secara umum, ada empat bagian prosesi yang masih terus dilakukan, yaitu Mapalao, penerimaan tamu, penyembelihan kerbau, dan penguburan.
Add caption
Upacara Mapalao adalah ritual untuk membawa jenazah ke pusat prosesi, yaitu di rumah adat Tongkonan. Mapalao dilakukan dengan mengarak keranda jenazah dari rumah tinggal menuju Tongkonan keluarga. Di sanalah, jenazah disemayamkan sementara waktu di sebuah Lakean yang terletak di ujung Tongkonan.
Usai upacara Mapalao, keluarga menerima kedatangan para tamu untuk memberi penghormatan terakhir kepada almarhum. Bunyi lesung yang ditabuh sejumlah wanita menjadi pertanda ada tamu yang datang.
Para tamu datang dalam kelompok-kelompok keluarga dengan membawa hewan seperti kerbau dan babi untuk disumbangkan. Setiap kali rombongan tamu tiba, tuan rumah segera membawa mereka ke Lantang dan menyediakan hidangan. Di saat yang sama, alunan kidung kesedihan dari penari Renteng sengajadilantunkan untuk menggambarkan sejarah hidup almarhum.
Proses yang agak rumit terjadi saat upacara penyembelihan kerbau. Sebab, hewan yang telah diterimakeluarga, baik dari sumbangan maupun keluarga sendiri akan dihitung oleh panitia yang terdiri dari keluarga, aparat desa, dan masyarakat adat. Dalam proses ini, sering terjadi negosiasi yang alot.
Terkadang, protes datang karena ketakpuasan soal jumlah kerbau yang harus disembelih. Namun, kesepakatan akhir tetap harus terjadi, tak peduli proses negosiasi berakhir dengan protes. Di depan Tongkonan dan keranda jenazah, satu demi satu tebasan pedang para penjagal mengakhiri ajal sang kerbau.
Setelah semua rangkaian upacara telah dilewati maka saatnya dilakukan penguburan. Masyarakat Toraja mempunyai tradisi unik dalam mengubur orang yang telah mati. Penguburan tak dilakukan di tanah, tapi di goa-goa alam yang terletak di tebing-tebing pegunungan. Bahkan, mereka meyakini bahwa semakin menantang proses penguburan maka semakin tinggi pula derajat keluarga yang meninggal.
Akhirnya, sebuah prosesi penguburan yang sangat berbahaya dilakukan. Mulai dari kelincahan, keberanian, serta dorongan keyakinan spiritual. Terkadang,nyawa harus dipertaruhkan dalam proses penguburan ini. Semuanya dilakukan dengan penuh keyakinan bahwa yang diperbuat akan membahagiakan leluhur yang telah meninggal.
Bagaimana pun, rambu solok telah menjadi fenomena dalam kehidupan masyarakat, bahkan tidak jarang melahirkan sikap pro dan kontra. Pada satu sisi budaya ini dianggap positif. Bukan hanya dalam rangka melestarikan adat istiadat dan tradisi, tapi juga berdampak pada kehidupan keseharian masyarakat, terutama dengan kebersamaan dan kerjasama warga. Belum lagi jika dikaitkan dengan pengembangan sektor pariwisata, karena tradisi ini dianggap sebagai salah satu sektor unggulan dan sangat potensial mendatangkan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Di sisi lain, kritik terhadap pelaksanaan pesta ini juga mulai berkembang. Penggunaan dana yang terkadang mencapai angka puluhan miliar dinilai oleh sebagian kalangan telah di ambang batas kewajaran, dan menciptakan budaya boros bagi masyarakat. Untuk sebagian warga, biaya pelaksanaan pesta rambu solok akan terasa sangat besar dan menjadi beban bagi mereka.
Meski demikian, mereka tetap harus melaksanakannya, dalam rangka menjaga gengsi dan popularitas. Belum lagi kewajiban untuk membayar utang bagi mereka yang telah membantunya saat pelaksanaan pesta.
Pro-kontra terhadap pelaksanaan ritual ini tentunya harus bisa disikapi secara bijak. Sebagai sebuah tradisi yang telah menjadi aset daerah tentunya kita tidak ingin budaya ini hilang. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari segenap elemen dan pelaku pembangunan untuk menemukan formula efektif dan menguntungkan. Di tingkat masyarakat perlu terbangun kesadaran bahwa pelaksanaan pesta yang berlebihan akan lebih banyak berimplikasi negatif dibandingkan positifnya.



Kambira (Kuburan Bayi di dalam Pohon)



Obyek wisata satu ini sangat unik, karena jenazah bayi yang sudah meninggal dimasukkan ke batang pohon. Sebelum jenazah dimasukkan ke dalam batang pohon, terlebih dahulu batang pohon itu dilubangi, dengan ketentuan lubang tidak boleh menghadap ke arah kediaman keluarga yang meninggal. Mayat bayi lalu diletakkan ke dalam, dan ditutupi dengan serat pohon dari bahan pelepas enau (kulimbang ijuk). Pengunjung yang bertanda di perkampungan ini, bisa melihat langsung kuburan para bayi yang dimakamkan di atas pohon. Pohon tersebut bernama Tarra, pohon yang menyerupai pohon buah sukun dengan lingkaran batang pohon sekitar 3,5 meter. Pohon ini telah berumur sekitar 300 tahun dan tersimpan puluhan jenazah bayi berusia 0-7 tahun di dalamnya. Obyek wisata Kambira berada di Kampung Kambira, Kecamatan Sangalla, sekitar 20 km dari Kota Rantepao. Saat ini pohon tempat menyimpan mayat bayi tersebut sudah tidak digunakan lagi. Namun pohon Tara tersebut masih terlihat tegak berdiri, sehingga menjadi data tarik yang banyak dikunjungi wisatawan lokal mau pun mancanegara. 

Lo'Ko' Mata



Lo'Ko Mata suatu lokasi yang diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa mengambil posisi di lereng gunung Sesean pada ketinggian ± 1400m di atas permukaan laut. Suatu tempat yang sangat menawan, fantastic dan bila seseorang datang dan menyaksikan serta merenungkan ciptaan ini rasa kangen pasti ada.

Selain itu Anda dapat menyaksikan panorama alam yang sangat indah dan deru arus sungai di bawah kaki kuburan alam ini. Yang terletak di desa Pangden ±30 km dari kota Rantepao. Nama Lo'ko' Mata diberi kemudian oleh karena batu alam yang dipahat ini menyerupai kepala manusia, tetapi sebenarnya Liang Lo'ko' Mata sebelumnya bernama Dassi Dewata atau Burung Dewa, oleh karena liang ini ditempati bertengger dan bersarang jenis-jenis burung yang indah-indah warna bulunya, dengan suara yang mengasyikkan kadang menakutkan.


Pada abad XIV (1480) datanglah pemuda kidding yang memahat batu raksasa ini untuk makam mertuanyayang bernama Pong Raga dan Randa Tasik (I) selanjutnya pada abad XVI tahun 1675 lubang yang kedua dipahat oleh Kombong dan Lembang. Dan pada abad XVII lubang yang ketiga dibuat oleh Rubak dan Datu Bua'. Liang pahat ini tetap digunakan sampai saat ini saat kita telah memasuki abad XX. Luas areal wisata Lo'ko' Mata ± 1 ha dan semua lubang yang ada sekitar 60 buah. 

Objek Wisata Tana Toraja


Kabupaten Tana Toraja adalah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, dengan bupati Bernama Theofilus Allorerung. Ibu kota kabupaten ini adalah Makale. Sebelum pemekaran, kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.990 km² dan berpenduduk sebanyak 248.607 jiwa (2007).
Suku Toraja yang mendiami daerah pegunungan dan mempertahankan gaya hidup yang khas dan masih menunjukkan gaya hidup Austronesia yang asli dan mirip dengan budaya Nias. Daerah ini merupakan salah satu obyek wisata di Sulawesi Selatan.
Tana Toraja merupakan salah satu daya tarik wisata Indonesia, dihuni oleh Suku Toraja yang mendiami daerah pegunungan dan mempertahankan gaya hidup yang khas dan masih menunjukkan gaya hidup Austronesia yang asli dan mirip dengan budaya Nias. Daerah ini merupakan salah satu obyek wisata di Sulawesi Selatan.



                                                                         
1.Pallawa
    Tongkonan Pallawa adalah salah satu tongkonan atau rumah adat yang sangat menarik dan berada di antara pohon-pohon bambu di puncak bukit. Tongkonan tersebut didekorasi dengan sejumlah tanduk kerbau yang ditancapkan di bagian depan rumah adat. Terletak sekitar 12 km ke arah utara dari Rantepao.




2.Londa

    Londa adalah bebatuan curam di sisi makam khas Tana Toraja. Salah satunya terletak di tempat yang tinggi dari bukit dengan gua yang dalam dimana peti-peti mayat diatur sesuai dengan garis keluarga, di satu sisi bukit lainya dibiarkan terbuka menghadap pemandangan hamparan hijau. Terletak sekitar 5 km ke arah selatan dari Rantepao.
       

    3.Ke’te Kesu
Obyek yang mempesona di desa ini berupa Tongkonan, lumbung padi dan bangunan megalith di sekitarnya. Sekitar 100 meter di belakang perkampungan ini terdapat situs pekuburan tebing dengan kuburan bergantung dan tau-tau dalam bangunan batu yang diberi pagar. Tau-tau ini memperlihatkan penampilan pemiliknya sehari-hari. Perkampungan ini juga dikenal dengan keahlian seni ukir yang dimiliki oleh penduduknya dan sekaligus sebagai tempat yang bagus untuk berbelanja souvenir. Terletak sekitar 4 km dari tenggara Rantepao.



4.Batu Tumonga
Di kawasan ini anda dapat menemukan sekitar 56 batu menhir dalam satu lingkaran dengan 4 pohon di bagian tengah. Kebanyakan batu menhir memiliki ketinggian sekitar 2–3 meter. Dari tempat ini anda dapat melihat keindahan Rantepao dan lembah sekitarnya. Terletak di daerah Sesean dengan ketinggian 1300 meter dari permukaan laut.





5.Lemo
Tempat ini sering disebut sebagai rumah para arwah. Di pemakaman Lemo kita dapat melihat mayat yanng disimpan di udara terbuka, di tengah bebatuan yang curam. Kompleks pemakaman ini merupakan perpaduan antara kematian, seni dan ritual. Pada waktu-waktu tertentu pakaian dari mayat-mayat akan diganti dengan melalui upacara Ma’ Nene